Sabtu, 15 Januari 2011

Bantahan Terhadap Orang-orang yang Terpedaya





Manusia yang paling tertipu adalah yang terpedaya oleh kehidupan dunia yang tampak di hadapan mereka. Bahkan, mereka lebih meridhai dan mengutamakan dunia daripada akhirat. Sampai-sampai, sebagian mereka menyatakan: ”Dunia adalah sesuatu yang kontan, sedangkan akhirat adalah kredit. Kontan lebih bermanfaat dibandingkan kredit.” Jika sesuatu yang kontan dan kredit itu sama nilainya, maka kontan lebih baik dibandingkan kredit. Namun, apabila berbeda yaitu ketika perkara kredit tadi jauh lebih banyak dan lebih baik maka tentulah ia yang lebih baik. Lantas, bagaimana seandainya dunia seluruhnya, dari awal hingga akhir, hanyalah merupakan suatu napas dari sekian banyak napas di akhirat?!

Ada juga yang mengungkapkan: ”Kelezatan dunia merupakan perkara yang pasti. Sebaliknya, kelezatan akhirat merupakan perkara yang masih diragukan. Saya tidak akan mengganti perkara yang pasti dengan perkara yang meragukan.”

Asumsi ini merupakan tipuan dan makar syaithan. Bahkan, binatang ternak yang tidak bisa berbicara pun lebih berakal dibandingkan mereka. Sebab, seekor binatang, jika takut terhadap mudharat, tidak akan mau mendekatinya meskipun dipukul (disiksa).

Didalam al-Musnad karya Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari al-Mustaurid bin Syaddad, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallaam bersabda: "Tidaklah dunia ini kalau dibandingkan dengan akhirat, melainkan seperti sesuatu yang seseorang di antara engkau semua menjadikan jarinya masuk dalam air lautan, maka cobalah lihat dengan apa ia kembali - yakni, seberapa banyak air yang melekat di jarinya itu. Jadi dunia itu sangat kecil nilainya dan hanya seperti air yang melekat di jari tadi banyaknya." (Shahih-Muslim)

Mendahulukan dunia yang kontan atas akhirat yang kredit merupakan tipuan terbesar dan kebodohan terburuk. Jika hadits tadi menjelaskan perbandingan antara dunia secara keseluruhan dan akhirat, maka bagaimana pula dengan perbandingan antara manusia dan akhirat?

Manakah yang lebih utama bagi orang yang berakal, apakah mengedepankan yang segera untuk jangka waktu yang singkat dan terhalang dari kebaikan abadi di akhirat; ataukah meninggalkan sesuatu yang kecil, hina, dan akan sirna dalam waktu dekat untuk mengambil sesuatu yang tidak terkira nilainya, tidak ada bahayanya, tidak terbatas bilangannya, dan tidak ada limit waktunya?

Bisa jadi, anda ragu terhadap janji baik dan ancaman Allah serta kebenaran Rasul-Nya atau anda ingin memastikan (meyakini) kebenaran hal-hal tersebut. Kalau meyakininya, berarti anda meninggalkan sebutir atom yang kontan, sirna, dan fana dalam waktu dekat dengan suatu perkara yang apsti dan sama sekali tidak diragukan lagi. Namun, jika anda memang meragukannya, maka lihatlah kembali tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala yang menunjukkan keberadaan, kekuasaan, kehedak, dan keesaan-Nya, serta kebenaran para Rasul-Nya, terhadap apa yang mereka kabarkan tentang Allah. Fokuskanlah dirimu, dan berdirilah untuk melihat segala milik-Nya atau memeperdebatkannya, hingga jelas bagimu bahwa apa yang dibawa Rasul, shalawaatullah ‘alihim, tentang Allah merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi.

Seandainya manusia memperhatikan proses kejadiannya dari awal, mulai dari setetes air mani hingga menjadi sempurna, maka jelaslah bahwa Dzat yang mengawasinya, mengubahnya dalam berbagai tahap kejadian, serta membentuknya dalam berbagai wujud tidaklah layak bagi-Nya untuk mengabaikan dan membiarkan manusia begitu saja; tiada memberi perintah, melarang, mengenalkan hak-hak-Nya, memberi ganjaran, dan tidak menghukumnya.

Kami telah menyebutkan dalilnya dalam kitab Aimaan al-Qur’an,1 ketika menyebutkan firman Allah:

لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُونَ . فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ . وَمَا لَا تُبْصِرُونَ . إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

“Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.” (QS. Al-Haaqqah: 37-40)
            Kami juga menyebutkan penggalan masalah ini116 ketika membawakan firman Allah:
وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

”Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. Adz-Dzaariyaat: 21)

            Ayat ini menunjukkan bahwa adanya manusia merupakan dalil (bukti) bagi dirinya sendiri akan keberadaan Penciptanya, keesaan-Nya, kebenaran pada Rasul-Nya, serta penetapan sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

            Jika ada yang mengungkapkan: ”Bagaimana mungkin terkumpulnya pembenaran yang sifatnya pasti, yang tidak ada keraguan terhadap hari kebangkitan, Surga, dan Neraka, dengan keburukan amal? Apakah memang merupakan tabiat manusia jika ia mengetahui akan dituntut di hadapan raja-raja untuk disiksa dengan siksaan yang sangat keras ataupun dimuliakan dengan pemuliaan yang sempurna, maka kemudian dia menjadi lalai, alpa, tidak memiliki (pasrah terhadap) nasibnya nanti di hadapan raja tersebut, tanpa melakukan persiapan apa pun untuk menghadapi hal itu?”

            Jawabannya adalah:

            Demi Allah, ini adalah pertanyaan yang benar dan terkait dengan keadaan mayoritas manusia. Terkumpulnya dua perkara tersebut merupakan perkara yang sangat mengherankan. Buruknya amal terjadi karena beberapa sebab. Salah satunya ialah karena lemahnya ilmu dan kurangnya keyakinan. Jika ada orang yang menyangka bahwa ilmu itu tidak bertingkat-tingkat, maka pendapatnya ini jelas sangat rusak dan salah.
            Nabi Ibrahim ’Alaihissalaam, kekasih Allah, pernah meminta kepada-Nya agar diperlihatkan secara nyata (langsung) bagaimana Dia menghidupkan sesuatu yang sudah mati, padahal beliau telah mengetahui kekuasaan Allah dalam masalah ini. Tujuannya tidak lain untuk menambah kemantapan hatinya, juga agar perkara ghaib yang telah ia ketahui dapat disaksikannya.2

            Imam Ahmad dalam Musnad-nya3 telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallaam, bahwasanya beliau bersabda:
”Orang yang hanya mendengarkan kabar tidak seperti orang yang menyaksikan.”

            Apabila kelemahan ilmu ini berkumpul dengan ketidakhadirannya dalam hati pada sebagian besar waktu yang disebabkan oleh kesibukan pelakunya dengan hal yang berlawanan dengan ilmu tersebut; ditambah lagi dengan tuntutan karakter, jeratan hawa nafsu, kekuasaan syahwat, terkecohnya jiwa, terperangkap tipu daya syaithan, kegundahan tentang lambatnya janji, panjangnya angan-angan, kealpaan, kecintaan terhadap dunia, mudah menakwilkan sesuatu sesuai dengan keinginan, dan kebiasaan yang buruk; maka tidak ada yang mampu menahan iman selain Dzat yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap.

             Sebab inilah yang menjadikan manusia berbeda dalam tingkatan iman dan amal, smenetara tingkatan terakhirnya adalah bagian terkecil dari sebutir atom iman yang masih tersisa di hati.

            Sebab-sebab tadi kembali kepada kelemahan bashiraah (ilmu dan keyakinan) serta kesabaran. Oleh sebab itu, Allah memuji orang-orang yang memilki keyakinan dan kesabaran, serta menjadikan mereka sebagai imam dalam agama.
            Allah سبحانه و تعال berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24)


                                        
Foote Note:
1.      Lihat kitab at-Tibyaan fii Aqsaamil Qur-aan (109)
2.      Sebagaimana tercantum dlaam surat Al-Baqarah: 260
3.      Al-Musnad (no. 1842). Hadits ini diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath (no. 284) dan al-Kabiir (no. 12451), Ibnu Hibban (no. 6214), Abusy Syaikh dalam al-Amtsal (no. 5), al-Hakim (II/321), al-Bazzar (no. 200), serta Ibnu ‘Adi (VII/2596). 

[Disalin dari buku Ad Daa’ wad Dawaa’ edisi Indonesia AD-DAA’ WA AD-DAWAA’, oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Penerbit Pustaka Imam asy-Syafi’i]